LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNIK KULTUR JARINGAN
SUB KULTUR TANAMAN KOLEKSI MINT
Disusun oleh :
Hanfah
Izzati P (J3G114044)
PROGRAM
KEAHLIAN TEKNOLOGI INDUSTRI BENIH
PROGRAM
DIPLOMA
INSTITUT
PERTANIAN BOGOR
2015
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Mentha arvensis
L. merupakan salah
satu tanaman herbal
aromatik penghasil minyak atsiri
yang dewasa ini
merupakan komoditas masa
depan yang cukup
prospektif sebagai penambah aroma
dan rasa pada
makan, minuman, obat,
kosmetik, dan produk
penyegar lainnya.
Tanaman mentha
bukan merupakan tanaman
asli Indonesia tetapi
berasal dari daerah subtropik, sekitar
Mediteriania (Laut Tengah).
Menurut sejarah, penyebaran
M. arvensis ke daerah
sekitar Asia diduga
berasal dari Eropa,
yang pada mulanya
tanaman ini disebarluaskan oleh
orang spanyol di
daerah semenanjung Malaya
dan Singapura. Beberapa jenis dari
marga Mentha yang
memiliki nilai ekonomi
sebagai penghasil minyak
atsiri dan menthol serta banyak dibudidayakan, yaitu :
M. arvensis., M. piperita L. dan
M. spicata.
Jenis mentha
yang berpeluang untuk
dekembangkan di Indonesia
adalah dari jenis
M. arvensis yang tidak
memerlukan panjang hari
tertentu untuk berbunga.
M. arvensis dapat tumbuh
di daerah lembap
dan hutan-hutan pada
ketinggian 150 m
sampai 900 m dpl. M. arvensis
mampu beradaptasi di
dataran rendah dengan
pertumbuhan tegak dan
dapat berbunga (Hadipoentyanti 2010).
Banyak
cara untuk memperbanyak tanaman mint. Tanaman mint dapat diperbanyak diantarnya
dengan cara stek dan kultur jaringan. Kedua perbanyakan ini memiliki keunggulan
masing-masing. Kultur jarungan misalnya.
Perkembang biakan mint menggunakan kultur jaringan merupakan cara yang efisien
karena perbanyak mint menggunakan cara ini dapat menghasilkan tanaman yang
banyak dan cepat (Setiawati 2003). Tanaman yang dihasilkan seragam, dan sesuai
dengan induknya.
Tujuan
Adapun
tujuan dari melakukan praktikum adalah untuk memindahkan kultur ke media baru
dan memperbanyaknya kembali.
TINJAUAN PUSTAKA
Mentha
termasuk suku Lamiaceae, yang marganya terdiri atas 25 jenis. Tanaman M.
arvensis merupakan tanaman herba tahunan yang terdiri atas beberapa varietas,
baik yang dibudidayakan maupun yang liar. Batang tegak atau sedikit menjalar dengan
tinggi tanaman berkisar 30.5 – 98.5 cm, mempunyai percabangan simpodial,
berbentuk segi empat, tekstur permukaaan licin atau sedikit berbulu, dan
berwarna hijau keunguan.
Panjang
daun berkisar 1.3 – 6.5 cm dengan lebar
1- 3.2 cm, berbentuk lanset (laceolate) sampai setengah bundar (suborbiculer),
Ujung daun runcing (acute) sampai segitiga tumpul (obtuse). Tepi daun beringgit
dangkal (Creneate) atau bergerigi (Serrate), tangkai daun berbulu, pangkal daun menyempit berbentuk pasak (Cuncate) sampai
bundar (rounded). Letak daun berseling berhadapan.
Bunga
majemuk bergerombol, berbentuk karangan melingkar di ketiak daun (Gambar 3),
berwarna putih, putih keunguan sampai ungu. Bunga berkelamin dua (hermaprodit)
dan bersifat aktinomorf mempunyai pelindung bunga menyerupai daun dan dasar
bunga berbentuk cawan lonceng. Kelopak bunga bergerigi pendek dan runcing.
Kelopak bagian luar berbulu halus,sedang bagian dalam tidak berbulu, panjang
sekitar 2 mm, Mahkota bunga (corolla) berwarna putih sampai ungu, bagian
luarnya berbulu halus, berbentuk tabung panjang sekitar 4-5 mm. Benang sari
(stamen) berjumlah empat menyebar dengan panjang yang sama + 0,75 mm
(didynamous) dan terjulur, tangkai putih pendek berjumlah satu dan kepala putik
bercabang dua.
M.
arvensis yang dibudidayakan di Indonesia
dapat berbunga tetapi jarang terjadi pembuahan sehingga jarang membentuk biji.
Perkembangbiakan biasanya dilakukan secara vegetatife yaitu dengan cara setek
pucuk, setek batang atau stolon dan kultur jaringan. Meskipun demikian
perbanyakan vegetatif dengan cara stek kurang efisien karena tanaman yang
dihasil tidak cukup banyak dan memerlukan waktu yang cukup lama (Hadipoentyanti
2010).
Teknik
kultur jaringan merupakan salah satu alternatif yang baik untuk memperoleh
bibit tanaman dalam jumlah banyak, seragam, dan dalam waktu yang relative
singkat. (Rostiana dan Seswita 2007). Salah satu keberhasilan dalam kultur
jaringan adalah perbanyakan tunas. Kemampuan jarngan untuk membentuk tunas
bergantung pada zat pengtur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media antara lain
sitokinin. Pemberian sitokinin dalam kultur jaringan perlu memperhatikan fungsi
dari setiap jenis sitokinin tersebut. Penambahan
jenis sitokinin tertentu dapat menstimulasi pembelahan sel dan morfogenesis.
Jenis
yang biasa digunakan adalah BAP, 2iP, atau kinetin. Dalam kultur tunas adalah
sangat umum menggunakan konsentrasi
sitokinin yang relative lebih tinggi dari auksin. Pada beberapa tanaman jenis
berkayu tertentu, diperlukan masa pemantapan kultur dengan memberikan sitokinin
dan auksin dalam konsentrasi rendah. Pada jenis tanaman yang demikian,
ploriferasi pucuk terjadi setelah dipindahkan ke media kedua dengan dengan
hanya sitokinin (Livy 1992).
METODOLOGI KERJA
Tempat
dan Waktu
Laboratorium
Kultur jaringan pukul 13:00 s/d selesai
Alat
dan Bahan
Adapun
alat yang digunakan dalam melaksanakan praktikum ini adalah botol kultur,
pinset, gunting, pinset dental, dan
bunsen. Bahan yang digunakan meliputi: media MS 11, alcohol 70%, dan tisu.
Komposisi
Media MS 11
Media
MS 11: MS + 0.1 ppm IAA + 0.5 ppm BAP
Tabel
1 Komposisi Laruran Sesuai Kebutuhan
No
|
Larutan
|
1000
ml
|
250
ml
|
|
|
|
|
1
|
Makro
|
20
|
5
|
2
|
Mikro
A
|
10
|
2.5
|
3
|
Mikro
B
|
1
|
0.25
|
4
|
Ca
|
10
|
2.5
|
5
|
Fe
|
10
|
2.5
|
6
|
Vitamin
|
10
|
2.5
|
7
|
Myo
|
10
|
2.5
|
8
|
0.1
ppm IAA
|
1
|
0.25
|
9
|
0.5
ppm BAP
|
5
|
1.25
|
10
|
Sukrosa
|
30
g
|
7.5
g
|
11
|
Agar
|
8
g
|
2
g
|
Metode Kerja
Hal
pertama yang dilakukan dalam subkultur
adalah menyiapkan alat dan bahan. Sebelum menanam alangkah baiknya membersihkan
ruang tanam (laminar) menggunakan alcohol 70% dan memastikan bahwa tangan sudah
bersih. Setelah itu memasukkan alat dan bahan tanam seperti gunting, pinset,
petris, Bunsen, ekplan, media, dan alcohol kedalam laminar. Semprot terlebih dahulu setiap alat ataupun
bahan yang akan masuk ke dalam laminar.
Selanjutnya,
hidupkan Bunsen dan mulai membakar
gunting serta pinset sebelum menanam.
Buka botol eksplan, kemudian mulai memotong tunas mikro sampai pangkai batang.
Potongan tunas yang telah terpotong dimasukkan kedalam Petridis yang sudah
steril dan tertutup. Buka tutup Petridis sedikit dan melakukan pemotongan pada
tunas setiap 2 buku. Menanam ekplan yang telah dipotong di dalam media MS 11.
Setiap botol berisi 3 eksplan. Terakhir, memberikan label nama tanaman dan
tanggal tanam pada masing-masing botol. Simpan di dalam ruang penyimpanan
kultur. Pengamatan dilakukan setiap 1 minggu sekali dengan parameter
pengamatan: jumlah eksplan hidup, jumlah ekplan kontaminasi, saat muncul tunas,
saat muncul akar, jumlah tunas per eksplan, jumlah akar per eksplan, ekplan
berkalus, dan jumlah buku per tunas.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Hasil
Berikut adalah hasil pengamatan tanaman
mint.
Tabel 1 Hasil Pengamatan Pertumbuhan Mint
minggu
|
∑ tunas/ eksplan
|
∑ daun /eksplan
|
∑ akar/ eksplan
|
∑ buku/ eksplan
|
∑ kalus/ eksplan
|
1
|
4.29
|
−
|
4.14
|
17.38
|
1.45
|
2
|
4.56
|
−
|
7.72
|
20.89
|
1.39
|
3
|
4.83
|
−
|
11.39
|
27.67
|
2.5
|
4
|
5.61
|
−
|
13.06
|
31.28
|
2.89
|
5
|
6.11
|
−
|
15.44
|
33.06
|
3.06
|
Pembahasan
Saat melakukan subkutur tanaman koleksi
mint ini dihasilkan 10 botol. Pada minggu pertama terdapat 7 botol yang dapt
bertahan steril dan 3 botol terkontaminasi. Pada minggu ke 2 dan minggu selanjutnya terdapat 1 botol
terkontaminasi, sehingga botol yang tersisa menjadi 6 botol. Adapun penyebab terjadinya kontaminasi pada tanaman
karena, adanya kelalaian saat menanam seperti: tangan tidak steril baik itu
ketika melaksanakan penanaman ataupun sedang melakukan pengamatan, dan
melakukan pembicaraan disaat pengamatan dan penanaman.
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan
bahwa pemberian media MS 11 pada mint dapat merangsang pertumbuhan mint (lihat tabel
2). Zat pengatur tumbuhan BAP dan IAA yang ditambahkan pada media subkultur
ini mampu menumbuhkan tanaman mint. Setiap
minggu terjadi pertambahan tinggi baik itu pada tunas, akar, buku dan kallus.
Pemberian zat pengatur tumbuh pada mint menyebabkan tunas tumbuh dengan cepat
setiap minggunya. Hal ini karena, konsentarsi yang diberikan IAA lebih randah
jika dibandingkan dengan konsentrasi BAP.
Konsentrasi IAA adalah 0.1 ppm sedangkan
konsetrasi BAP 0.5 ppm. Pemberian konsentrasi yang lebih tinggi pada sitokonin
dapat menstimulasi pembelahan sel dan morfogenesis yang berarah kepada tunas.
Pada minggu pertama setelah tanam dengan jumlah tunas per eksplan 4.29, sudah
menghasilkan jumlah buku yang mencapai 17.38 buku dan akar sebesar 4.1. Begitu
pulapada minggu ke-2 terjadi pertambahan
tunas, buku, dan akar menjadi 4.56, 20.89, dan 7.72, dan begitu seterusnya
sampai minggu ke-5 masih terjadi pertamabahan.
Hasil penginduksiaan yang dirangsang
oleh BAP dialirkan ke tunas. Tunas memberikan respon dengan mendorong
pertumbuhan banyaknya buku pada setiap eksplan. Pada setiap buku masih
mempunyai kemampuan untuk tumbuhnya tunas baru kembali. Sehingga jika tunas
semakin banyak maka akan semakin banyak pula buku karena tunas juga dapat
berasal dari pembelahan sel yang berada disekitar buku-buku tanaman.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang didapat dalam
melakukan subkultur ini adalah: jumlah botol yang streril hingga minggu ke 5
adalah 6 botol. Pemberian konsentrasi
pada BAP yang lebih tinggi dibandingkan IAA akan menginduksikan tunas. Setiap
minggunya terjadi pertambahan tunas, akar, dan buku. Bertambahnya tunas pada
eksplan maka bertambah pula jumlah buku per ekplan. Tunas dapat tumbuh dari
tiap-tiap buku.
Saran
Saran yang dapat diberikan untuk
praktikum ini adalah: sebaiknya dalam melakukan peng-subkulturan dilakukan
dengan steril. Tangan harus disterilkan dengan alkohol terlebih dahulu sebelum
menanam. Ketika pengamatan dan penanaman tidak melakukan pembicaraan yang
banyak agar kontaminan dari mulut tidak
berkembang pada tanaman.
DAFTAR
PUSTAKA
Hadipoentyanti,
E. 2012. Pedoman teknis mengenal tanaman metha (Metha arvensis L.) dan
budidayanya. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Diakses tanggal
18 Desember 2015.
Livy,
WG. 1988. Tenik Kultur Jaringan Tumbuhan.
Laboratorium Kultur Jaringan PAU Bioteknologi IPB. Bogor.
Rostiana,
O. dkk. 2002. Evaluasi dan pengujian potensi genetic tanaman piretrum. Laporan
Teknis Penelitian. Bagian Proyek Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor.
Setiawati,
E. Teknik Kultur Jaringan Gladiol. Buletin Teknik Pertanian. Vol 8(1):28-30.
Diakses tanggal 18 Desember 2015.
Komentar
Posting Komentar